Masa Yang Pergi Tak Akan Pernah Bisa Terganti
Masa bergulir bersama puing-puing waktu
Merembes antara cahaya kini dan masa silam
Tinggal kita terkaku menatap jejak-jejak kaki yang sudah jauh meninggalkan
Kenangan demi kenangan yang utuh mendewasakan
Kita semakin matang oleh usia dan kedewasaan.
Masihkah kalian ingat rumah buruk kita itu
Berdinding bambu beratap langit menceritakan kegetiran
Rumah yang kita bangun dengan kasih sayang dan kecintaan
Dari serambi yang hampir sujud ke bumi
Kita meneropong sebatang jalan tua melihat manusia lalu-lalang
Dan kekadang kita tertangkap tikaman penghinaan yang di lemparkan.
Atau kekadang dari jendela yang menghadap ke laman
Kita biar ia mendada terbuka luas menangkap angin panas
Sesekali burung-burung sesat mematikan lamun panjang
Dan kita berlari mengejar makhluk Tuhan yang cantik itu
Dan papa akan marah-marah kerana rumah kita condong dan bergoyang.
Masihkah kalian ingat dapur kayu kita yang berjelaga itu
Dapur kayu yang menghidupkan kita dari manusia kepada manusia sebenar
Di ruang itu aroma pucuk ubi kayu bukan suatu yang asing
Aroma kopi tenom yang mama pangang dan giling sendiri dengan kasihnya
Dan saat santap penuh redha bapa akan mengetuai bacaan doa.
Lalu masihkah kalian ingat apa yang kita perbuat selepas santap
Kita akan buru-buru duduk di keliling dua orang insan istimewa
Pada mereka kita tumpahkan kasih dan manja
Dan mereka akan mengulang cerita-cerita seperti semalam
Tentang cerita zaman perang yang ditempuh mereka
Tentang cerita hikayat raja miskin di buang di dinding angin
Ayam raja jawatan atau hikayat si anak-anak
Dan kita bersorak riang bertepuk tangan
Al-Fatihah buat Aki dan Odu kita yang telah pergi selamanya.
Sebatang sungai tenang yang mengalir dingin di belakang rumah
Di tepiannya tumbuh sepohon limau gajah dan jambu air berwarna merah
Di situlah tempat kita bersiram
Sambil menangkap anak-anak ikan yang berenang riang
Dan sampai suatu musim kita beramai-ramai mengharung sungai itu
Dengan tangguk dan jala mencari hadiah dari Tuhan
Buat santapan istimewa pabila malam menjelang.
Dan aku tidak akan lupa bercerita tentang permatang dan sawah
Yang kian tahun menghidupkan kita dari keringat dan jerih payah
Kita selusuri permatang panjang
Kekadang ulat gonggok menyapa bertanya kabar si petani muda
Dan berudu kecil comel bermain di antara jemari tak pernah kita rasa geli.
Aduhai alangkah pahitnya zaman itu
Alangkah peritnya menghayun tenggala
Dalam terik mentari kita gagahi juga menanam benih-benih hari esok
Kerana saat itu perjuangan kita baru sahaja bermula.
Aduhai kalian, masihkah teringat di kepala juga di minda
Pondok usang kita di tepian sawah yang papa bina tempat melepas lelah
Dari serambinya
Kita selalu menerobong petak bendang jiran yang menyubur harapan
Dan kita bandingkan dengan yang menjadi milik kita
Selalu kita tersenyum puas menanam keyakinan.
Dan saat satu-satu antara kita pergi meninggalkan kampung halaman
Mengejar cita-cita demi sebuah pembaharuan dan keberanian untuk hidup
Mereka tidak pernah meyakini kemampuan kita
Tetapi yakin itu tertanam dalam jiwa para pencari kejayaan
Yang tidak kenal putus asa tetap tegar melangkah
Meski zaman persekolahan di tempuh pahit
Kita telah menjadi kita yang selalu melangkah yakin dan berani.
Aduhai kalian
Waktu semalam yang menyakitkan itu
Tak akan pernah bisa terbeli dan terganti
Ia adalah kenangan yang akan kita seret menuju sebuah keabadian
Dan aku ingin menjadi si tukang pencerita
Yang akan selalu berhikayat tentang kisah kita
Aku ingin selalu berpesan-pesan
Agar kalian mengingati untuk sampai ke tahap sekarang
Kita telah melalui cerancang-cerancang tajam dan sembilu yang menyakitkan
Jesteru jika ada pun luka yang kita tempuhi diperjalanan sematang ini
Kembalilah mengingati ujian itu bukan apa-apa berbanding semalam.
Kalian
Kelmarin yang terhadiah itu sebenarnya adalah anugerah
Yang memanusiakan kita
Dan aku berbahagia menikmati detik itu bersama perajurit-perajurit berani
Hadir kalian tidak akan pernah bisa terganti
Meski Tangan Tuhan bakal memisahkan kita antara duniawi dan ukhrawi
Siapa pun yang pergi dan ditinggalkan
Semoga detik itu bisa kita lalui
Dan sesungguhnya yang tertinggal adalah kenangan sezaman.
Kalian ....... Aku Selalu Dan Terlalu Sayang.
Terabadi : JENTAYU PUTIH
Detik itu sengaja ku biar diriku menyatu denganmu alam
Lalu kau sambut jabat tanganku dengan kasih mesra
Dan kau belai jiwaku lewat panorama yang kau kirim ke pancaindera
Kita pun terus bercerita tentang kekasih dan hari-hari depan
Masihkah punya waktu buat kita berpimpin tangan melewati tembok batu itu.
Dan ketika aku ceritakan tentang segugus angan-angan,
Kau tersenyum lewat tiupan bayu yang kau hantar di sebalik pepohonan
Kau tahu hatiku lagi rawan hampir di mamah kecundang
Dan bisikmu aku harus bangun dari kamar nestapa
Seperti mu juga yang kekar berdiri di tengah ceracak pembangunan.
Meski ada duka di perjalanan ini
Meski dia mungkin tak mengerti apa-apa
Meski Jentayu Putih memilih sebuah bungkam panjang
Aku tetap bakal melangkah dengan yakin dan riang
Membelah awan kabut.
Aduhai,
Ternyata aku telah menemui diriku yang hilang
Dan sayap cintaku yang patah mengepak kembali
Semuanya terubat saat jiwa menyatu dengan alam.